Kamis, 14 Februari 2013

FILSAFAT



Dialog (al-Hiwar) dalam Kategori Dakwah
Kita sering mendengan istilah “ulama waratsatul an-biyaa”, hal ini menunjukkan bahwa ulama atau para dai merupakan penerus risalah islam sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Agama islam mewajibkan kepada setiap muslim untuk melakukan dakwah, baik dakwah fardiyah (untuk dirinya sendiri) maupun dakwah yang harus dilakukan kepada orang lain. Berdakwah merupakan cara yang dapat merubah pola pikir manusia bahkan peradaban ke arah yang lebih baik.
Seorang da’i ketika akan berdakwah tidaklah dihadapkan pada persoalan yang mudah. Da’i harus mampu menghadapi manusia yang bersifat heterogen sebagai objek atau sasaran dakwah. Da’i harus pandai berkomunikasi dalam menyampaikan dakwahnya kepada mad’u yang kompleksitas dan hideroginitas. Disinilah seorang dai dituntut untuk mampu menyampaikan dakwah dengan lisan (kata-kata) yaitu dengan penyampain yang dapat menyentuh hati para mad’u supaya dakwahnya bisa diterima. Selain dakwah dengan lisan seorang dai juga harus bisa melakukan dakwah dengan hal (perbuatan atau tindakan) yaitu memberi contoh kepada mad’u dengan melakukan amalan-amalan yang diperintahkan oleh agama islam.
Kita juga sering mendengar istilah beda kepala beda pemikiran. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh seorang dai karena biasanya ketika terjadi perbedaan pandangan maka akan terjadi benturan-benturan yang menyebabkan adanya sebuah konflik. Oleh sebab itu seorang dai harus mempunyai sikap yang bijak dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut.
Dialog “al-Mujadalah” merupakan sebuah sarana yang dapat menyatukan perbedaan pandangan setiap pemikiran sehingga menciptakan “kesepakatan”. Dengan berdialog, satu sama lain dapat mengetahui pola pikir dan perbedaan pandangan masing-masing sehingga dapat saling bertukar pemikiran. Dialog “al-Mujadalah” merupakan jemabatan untuk menghubungkan para insan yang berbeda hingga sampai pada satu sepakat. Dalam metode al-Mujadalah ini agama islam mengajarkan ketika berbeda pendapat maka harus melakukan bantahan dengan cara yang baik dengan memiliki argumen atau alasan-alasan yang jelas. 


Mujadadalah Dalam al – Qur’an
Al – Qur’an yang melaui ayat – ayatnya menaruh perhatian besar pada percakapan aau dialog demi menegakan dalil – dali ke – Esaan Allahdan membukikan misi Rasulullah.
Redaksi al – Mujadalah, Allah menyebutkanya 16 kali. Tetapi menurut pendapat beberapa ulama, lafazh al mujadalah tidak menunjukkan pada hiwar atau dialog. Ayat-ayat yang mempergunakan  redaksi al mujadalah secaqra keseluruhan menunjukkann dalam konteks pembicaraan yang tidak menghendaki munculnya debat (membantah-bantahan)

Konsepsi al – Qur’an dan Al – Sunnah Tentang Dialog
Berbicara tentang dakawah pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari sumber – sumber utama yaitu al – Qur’an sebagai kitab dakwah, Sunnag Rasul sebagai contoh oprasional dengan sirah – sirah Nabawiyyahnya, dan ijtihad para Shohibul da’wah sebagai mesin penggerak konteks – tualisasi solusi problem keumatan dalam menghadapi mad’u sebagai objek da’wah.
Hakikat da ‘wah Islam adalah aktualisasi imani yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman, dalam kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur, untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio kultural demi terwujudnya ajaran islam dalam semua segi kehidupan  manusia.
Ini berarti dakwah pada dasarnya adalah membawa perubahan dari yang tidak beriman menjadi beriman, dari yang beriman menjadi lebih beriman (takwa). Di sinilah tantangan bagi seprang da’I penerus risalah Nabi atau agen sosialisasi dan penyambung lidah ajaran islam.  Maka para da’I dituntuk untuk selalu berusaha mampu menejukan hati manusia sehingga dakwah Islamiyyah senantiasa diterima di tengah – tengah persaingan dunia. Seorang da’I ditantang kelihaianya dalam mempergunakan metodenya menyiarkan dakwah Islamiyyah. Sayangnya dakwah selama ini hanya diartikan sebagai ungkapan ; Mengajak, menyeru, Mendorong dan menyampaikan. Padahal dari ungkapan tersebut dapat memberikan makna yang berimplikasi terhadap kenerhasilan dakwah.
Islam memang agama dakwah. Artinya agama yang selau mendorong umatnya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah. Kemajuan dan kemunduran ummat Islam, sangat berkaitan erat dengan kegiatan yang dilakukan ummatnya sendiri. Karena itu al – Qur’an menyebut kegiatan dakwah dengan ahsanu qaula, ucapan dan perbuatang yang lebih baik (QS. Fushilat : 33), predikat khoiru ummah hanya diberikan kepada ummat yang aktif dalam kegiatan dakwah.(QS. Al – Imran : 110), serta predikat ummatan wasatha (al – Baqarah : 143)serta mendapat jaminan rahmatnya Allah (QS. At – Taubah : 71), demikian pula sebaliknya azab Allah akan diturunkan kepada siapapun yang enggan melakukan kegiatan dakwah (QS. Al – Maidah : 79).
Seacara sosiologis hendaknya dipahami bahwa konsep dakwah dapat dilihat dengan tiga tingkatan :
Pertama, dakwah hanya bersifat tabligh, retorika, yakni hanya menyampaikan pesan kepada manusia. Kedua, dakwah yang berwujud usaha menanamkan nilai – nilai Islam ketengah - tengah masyarakat. Dakwah dalam pengertian ini sudah bersifat esensial yang membutuhkan pemikiran yang serius dan mendalam karena pekerjaan menanamkan nilai – nilai (misalnya kejujuran, keadilan dan persudaraan) membutuhkan dukungan sistem. Tentu dakwah dalam tingkatan ini mengharuskan da’I mampu melakukan dialog antar budaya, mampu mendorong terjadinya sosialisasi, implementasi dan akulturasi pewarisan budaya islam dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Efektifitas dakwah terukur dari rentangan dan intensitas atau perubahan prilaku masyarakat yang mampu ditimbulkanya. Ketiga, dakwah membentuk masyarakat Islam, dari lingkungan pribadi, keluarga, hingga masyarakat hingga negara. Pada tahapan ini dakwah membutuhkan sistem jaringan dalam usaha membangun dan mewujudkan sistem Islam dalam semua segi kehidupan. Dakwah dalam bentuk ini seorang da’I memandang Islam sebagai sistem hidup yang kaffah.
Yunan yusuf menyatakan bahwa; “Dakwah selama ini muncul hanya dalam pendekatan parsial, tidak menyeluruh dan sistematis,” akibatnya timbul pemahaman keagamaan  yang tidak mampu membangun umat yang berkaitan dengan akidah, ibadah, ahlak dan muamalah.lebih lanjut belia mengatakan; “akidah umat memang sudah bertauhid tetapi akhlaknya belum mencerminkan ahlak Islami. Ibadah Umat memang telah tertib, tetapi muamalahnya belum menaati prinsip – prinsip muamalah yang diajarkan Islam. Ekonomi yang digunakan masih ekonomi Yahudi, politik yang dipakai  masih politik Machevelly,  kebudayaan masi bersifat Hedonistik, matrealistik, dan sekularistik.
Dari semua persoalan diatas perlu kita melihat fakta sejarah, bagaimana suksesnya Rasulullah Muhammad SAW. Dalam mensosialisasikan Islam. Kita melihat Rasul diutus untuk berdakwah kedalam setting social yang berbeda dari penguasa hingga rakyat jelata, dari yang tidak bermoral sampai kepada yang berbudi pekerti, dari yang miskin sampai yang kaya, Rasull mampu membawa perubahan tersebut cukup dengan hanya 23 tahun.
Dari fakta – fakta keberhasilan yang telah diemban oleh Rasulullah Muhammad SAW. Dan rasul – rasul terdahulu merupakan sebuah bukti bahwa, metode “mujadallah” (al – Hiwar) menjadi pertimbangan penting dalam menyampaiakn suatu misi yaitu misi dakwah.
Landasan dan Etika Berdialog
Syari’at Islam bersumber dari dasar – dasar yang mulia, bermuatan moralitas tinggi dan sarat dengan petunjuk luhur. Syari’at Islam berputar pada siklus logika yang benar, pemikiran yang lurus, perdebatan yang lebih baik dan berorientasi pada pencapaian kebenaran. Berikut ini beberapa landasan dan etika berdialog menurut Islam.
1.      Kejujuran
Dialog hendaklah dibangun diatas pondasi kejujuran, bertujuan mencapai kebenaran, menjauhi kebohongan.
2.      Thematik dan Objektif
Maudhu’iyyah (tematik) dan objektif dalam menyikapi permasalahan, artinya tidak keluar dari tema utama sebuah dialog supaya arah pembicaraan jelas dan mencapai sasaran yang di inginkan.
3.      Argumentatif dan logis
Diskusi atau dialog adalah bertujuan agar lawan menyadari atau mengikuti daripada apa yang kita inginkan.
4.      Bertujuan untuk Mencapai kebenaran
Setiap individu ataupun kelompok harus mencapai satu tujuan yaitu menampakan atau menjelaskan suatu kebenaran meskipun kebenaran ini dating dari pihak lawan.
5.      Tawadhu
Merasa paling benar, paling bisa dan paling berkuasa dapat mendapati kegagalan dalam pencapaian kebenaran, oleh karena itu setiap individu haruslah memiliki sifat kethawadhuan agar terhindar dari kebenaran yang rancu.
6.      Memberi kesempatan kepada lawan
Memberikan kesempatan kepada pihak lawan dan tidak mengurangi hak waktu bicaranya. Sehingga dapat menjadikan bahan peninjauan kita untuk melihat permasalah yang sebenarnya.

Metode dalam berdialog

Dalam pengertian dakwah yang integralistik, dakwah merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Mengingat fungsi dan peran dakwah yang  demikian penting, maka pengertian dakwah dan segal sesuatunya haruslah dipahami secara tepat dan benar sejalan dengan ketentuan al –Qur’an, sunnah Rasul.
Oleh karena itu, metode dakwah  “mujadalah” merupakan bagian integral dakwah haruslah dipahami sebaik mungkin, agar dalam pelaksanaanya sesuai dengan apa kita harapkan. Berikut adalah langkah – langkah atau metode dalam berdialog;
a.       Mempersiapkan materi
Dalam misinya seorang da’I harus benar – benar mempersiapkan materi yang disusaikan dengan kondisi yang akan dihadapinya, sewehingga dapat bertindak secara profesional, Ilmiah,dan dapat dipertanggung jawabkan.
b.      Mendengarkan pihak lawan dengan arif dan bijaksana.
Langkah ini diamibl agar pesan pertama begitu menggoda, tidak menyinggung perasaan hingga akhirnya da’I tidak hanya mengerti akan tetapi memahami apa yang disampaikan oleh lawan bicara.
c.       Menggunakan ilusi, kiasan, atau gambaran.
Ilustrasi adalah sarana untuk mendekatkan lawan bicara agar lebih yankin terhadap argument yang kita sampaikan. Ilustrasi berguna untuk melengkapi dan memperjelas  setiap uraian yang kita sampaikan.
d.      Mematakan alasan atau pendapat dengan serangan balik.
Langkah itu diambil apabila lawan sudah melampaui batas akan tetapi tetap memperhatikan etika dan norma – norma dalam dialog.

e.       Apologetic dan elentika
Dialog kadang menghadapi pihak lawan yang mudah menerima argument yang kita sampaikan. Dialog demikian kadang terjadi dalam satu agama (seagama)dan tidak fanatic terhadap faham yang dianutnya. Dialog demikian hanya membutuhkan argument dari pihak kita atau  disebut dengan metode “Apologetik”. Akan tetapi terkadang kita menemukan lawan biacara yang susah atau tidak mau menerima terhadap argument yang kita sampaikan. Oleh karena itu, dalam menghadapi hal tersebut kita bisa menggunakan metode “ Elentika” atau menggunakan argumen dari pihak lawan.
f.       Kontrol emosi
Bukan menjadi rahasia umum apabila dalam berdialog kitta menemukan permasalahan yang rumit dimana lawan bicara kia mau menerima aau mencaci. Oleh karena itu kia idak boleh erpancing aau mudah erbawa emosi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar