http://www.radioprssni.com/prssninew/internallink/legal/uu_telekomunikasi.htm
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1999
TENTANG
TELEKOMUNIKASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat
(1), dan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: UNDANG-UNDANG
TENTANG TELEKOMUNIKASI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang
ini yang dimaksud dengan:
BAB II ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Telekomunikasi
diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum,
keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3
Telekomunikasi
diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa,
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata,
mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan
hubungan antarbangsa.
BAB III
PEMBINAAN
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Menteri
bertindak sebagai penanggung jawab administrasi telekomunikasi Indonesia.
BAB IV
PENYELENGGARAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
a. penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi;
b. penyelenggaraaan jasa
telekomunikasi;
c. penyelenggaraan telekomunikasi
khusus.
(2) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi,
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.
melindungi kepentingan dan keamanan negara;
b.
mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
c.
dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
d. peran
serta masyarakat.
Bagian Kedua
Penyelenggara
Pasal 8
(1) Penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh
badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan
perundangan-undangan yang berlaku, yaitu :
a. Badan Usaha Milik Negara
(BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD);
c. badan usaha swasta; atau
d. koperasi;
(2) Penyelenggaraan Telekomunikasi
khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf c, dapat dilakukan
oleh :
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah ;
c. badan hukum selain
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi;
(3) Ketentuan mengenai
penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1) Penyelenggara jaringan
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dapat menyelenggarakan
jasa telekomunikasi.
(2) Penyelenggara jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dalam
menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan
telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
(3) Penyelenggara telekomunikasi
khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dapat menyelenggarakan
telekomunikasi untuk :
a. keperluan sendiri;
b. keperluan pertahanan keamanan
negara;
c. keperluan penyiaran.
(4) Penyelenggara telekomunikasi
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, terdiri dari
penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan :
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. dinas khusus;
d. badan hukum.
(5) Ketentuan mengenai persyaratan
penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Larangan Praktek Monopoli
Pasal 10
(1) Dalam
penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di
antara penyelenggara telekomunikasi.
(2)Larangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Perizinan
Pasal 11
(1)Penyelenggaraan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat diselenggarakan setelah mendapat
izin dari Menteri.
(2) Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan :
a.
tata cara yang sederhana;
b.
proses yang transparan, adil dan tidak diskriminatif; serta
c.
penyelesaian dalam waktu singkat.
(3)
Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat
Pasal 12
(1) Dalam
rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan
telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau
melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai
Pemerintah.
(2) Pemanfaatan atau pelintasan
tanah negara dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
pula terhadap sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar.
(3)Pembangunan, pengoperasian dan
atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang
bertanggungjawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 13
Penyelenggara
telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan
milik perseorangan untuk tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan
jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan di antara para pihak.
Pasal 14
Setiap
pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan
telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
(1) Atas kesalahan dan atau
kelalaian penyelenggara telekomuniksi yang menimbulkan kerugian, maka
pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada
penyelenggara telekomunikasi.
(2)Penyelenggara telekomunikasi
wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali
penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan
diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.
(3)Ketentuan mengenai tata cara
pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
(1) Setiap
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.
(2) Kontribusi pelayanan
universal sebagaimana dimakasud pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan
prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain.
(3) Ketentuan kontribusi
pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 17
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip :
a. perlakuan yang sama dan
pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna;
b. peningkatan efisiensi dalam
penyelenggaraan telekomunikasi; dan
c. pemenuhan standar pelayanan
serta standar penyediaan sarana dan prasarana.
Pasal 18
(1) Penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa
telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi.
(2) Apabila pengguna memerlukan
catatan pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
(3) Ketentuan mengenai
pencatatan pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan
telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.
Pasal 20
Setiap
penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman,
penyaluran, dan penyampaian informasi penting menyangkut :
a. keamanan negara;
b. keselamatan jiwa manusia dan
harta benda;
c. bencana alam;
d. marabahaya; dan atau
e. wabah penyakit.
Pasal 21
Penyelenggara
telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan
telekomunikai yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, kemanan
dan ketertiban umum.
Pasal
22
Setiap
orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi :
a. akses ke jaringan
telekomunikasi; dan atau
b. akses ke jasa telekomunikasi;
dan atau
c. akses ke jaringan
telekomunikasi khusus.
Bagian Keenam
Penomoran
Pasal 23
(1) Dalam penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi dan jasa telekomunikasi ditetapkan dan digunakan sistem
penomoran.
(2) Sistem penomoran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal
24
Permintaan penomoran oleh penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi diberikan berdasar
sistem penomoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
Bagian Ketujuh
Interkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan
Pasal 25
(1) Setiap
penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi
dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(2) Setiap
penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila
diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(3) Pelaksanaan
hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
berdasarkan prinsip :
a. pemanfaatan
sumber daya secara efisien;
b. keserasian sistem dan perangkat
telekomunikasi;
c. peningkatan mutu pelayanan; dan
d. persaingan sehat yang tidak
saling merugikan.
(4) Ketentuan mengenai
interkoneksi jaringan telekomunikasi, hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
26
(1) Setiap penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar
biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosentase
pendapatan.
(2) Ketentuan mengenai biaya
penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Tarif
Pasal 27
Susunan
tarif penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau tarif penyelenggara jasa
telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
Besaran
tarif penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi
dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Telekomunikasi Khusus
Pasal 29
(1)
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(3) huruf a dan huruf b, dilarang disambungkan ke jaringan
penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(2)
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(3) huruf c, dapat disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi
lainnya sepanjang digunakan untuk keperluan penyiaran
Pasal 30
(1) Dalam
hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, maka
penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(3) huruf a, dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf
b setelah mendapat izin Menteri.
(2) Dalam
hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), maka penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat
melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi.
(3)
Syarat-syarat untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
(1) Dalam
keadaan penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan
keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf b belum
atau tidak mampu mendukung kegiatannya, penyelenggara telekomunikasi khusus
dimaksud dapat menggunakan atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang
dimiliki dan atau digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(2)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kesepuluh
Perangkat Telekomunikasi, Spektrum Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit
Pasal 32
(1) Perangkat
telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau
digunakan di wilayah Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan
teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Ketentuan mengenai
persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
(1)
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin
Pemerintah.
(2)
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan
peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
(3)
Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum
frekuensi radio dan orbit satelit.
(4) Ketentuan
penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam
penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
(1) Pengguna spektrum
frekuensi radio wajib membayar biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya
didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi.
(2) Pengguna orbit satelit
wajib membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
(3) Ketentuan mengenai biaya
sebagaiama dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 35
(1) Perangkat telekomunikasi
yang digunakan oleh kapal berbendera asing dari dan ke wilayah perairan
Indonesia dan atau yang dioperasikan di wilayah perairan Indonesia, tidak
diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
(2)
Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal berbendera asing yang
berada di wilayah perairan Indonesia diluar peruntukannya, kecuali ;
a.
untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda,
bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi dan keamanan lalu lintas
pelayaran; atau
b.
disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara
telekomunikasi; atau
c.
merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas
bergerak pelayaran.
(3)
Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
(1)
Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari
dan ke wilayah Indonesia tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
(2)
Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat udara sipil asing
dari dan ke wilayah Indonesia diluar peruntukannya, kecuali ;
a.
untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda,
bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi dan keselamatan lalu lintas
penerbangan ; atau
b. disambungkan
ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara
telekomunikasi ; atau
c.
merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas
bergerak penerbangan.
(3) Ketentuan
mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37
Pemberian izin penggunaan perangkat telekomunikasi
yang menggunakan spektrum frekuensi radio untuk perwakilan diplomatik di Indonesia
dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik.
Bagian Kesebelas
Pengamanan Telekomunikasi
Pasal 38
Setiap
orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan
elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 39
(1) Penyelenggara
telekomunikasi wajib melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap instalasi
dalam jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk penyelenggaraan
telekomunikasi.
(2) Ketentuan
pengamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan
atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk
apapun.
Pasal 41
Dalam
rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas
permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi
wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan
oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 42
(1)
Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim
dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan
telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya.
(2) Untuk
keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat
merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa
telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas :
a. permintaan
tertulis dari Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk
tindak pidana tertentu;
b. permintaan penyidik untuk
tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
(3)
Ketentuan mengenai tata cara dan permintaan dan pemberian rekaman informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
43
Pemberian
rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan
proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), tidak
merupakan pelanggaran Pasal 40.
BAB V
PENYIDIKAN
Pasal 44
(1) Selain
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
(2)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang telekomunikasi;
b. melakukan pemeriksaan terhadap
orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
telekomuniksi.
c. menghentikan penggunaan alat
dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang
berlaku;
d. memanggil orang untuk didengar
dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
e. melakukan pemeriksaan alat
dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan
dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f.
menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di
bidang telekomunikasi;
g.
menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomuniksi yang
digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang
telekomunikasi;
h.
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
di bidang telekomunikasi; dan
i.
mengadakan penghentian penyidikan.
(3) Kewenangan
penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
BAB VI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang
siapa melanggar ketentuan-ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2),
Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat
(1),Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2),Pasal 34 ayat
(1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
(1) Sanksi
administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.
(2)
Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi
peringatan tertulis.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 47
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda
paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau
denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara
telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda
paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara
telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2) , dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang
siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan, atau menggunakan
perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak
sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 ( satu) tahun dan atau
denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
(1) Brang siapa yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal
33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan
atau denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2)
Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun.
Pasal 54
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
atau Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
Pasal 55
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan
perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52, atau Pasal 56 dirampas untuk
negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 59
Perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 51, Pasal 52,
Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 60
Pada saat
mulai berlakunya Undang-undang ini, Penyelenggara Telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, tetap
dapat menjalankan kegiatannya dengan ketentuan dalam waktu selambat-lambatnya
1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini dinyatakan berlaku wajib menyesuaikan
dengan Undang-undang ini.
Pasal 61
(1)Dengan berlakunya Undang-undang
ini, hak-hak tertentu yang telah diberikan oleh Pemerintah kepada Badan
Penyelenggara untuk jangka waktu tertentu berdasarkan Undang-undang No. 3
Tahun 1989 masih tetap berlaku.
(2)Jangka waktu hak tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipersingkat sesuai dengan
kesepakatan antara Pemerintah dan Badan Penyelenggara.
Pasal 62
Pada saat
Undang-undang ini berlaku semua peraturan pelaksanaan Undang-undang No. 3
Tahun 1989 tentang Telekomunikasi (lembaran Negara Tahun 1989 No. 11,
Tambahan Lembaran Negara No. 3391) masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan
Undang-undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 63
Dengan
berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang
Telekomunikasi dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 64
Undang-undang
ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada
tanggal 8 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan
di Jakarta
Pada
tanggal 8 September 1999
MENTERI
NEGARA SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA
MULADI
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 154.
Salinan
sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT
KABINET RI
Kepala
Biro Peraturan
Perundang-undangan
I,
Lambock V.
Nahattands
|
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 1999
TENTANG
PERS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
Mengingat :
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :
BAB II
ASAS, FUNGSI, HAK, KEWAJIBAN DAN
PERANAN PERS
Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan
rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi
hukum.
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai
berikut :
BAB III
WARTAWAN
Pasal 7
Pasal 8
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat
perlindungan hukum.
BAB IV
PERUSAHAAN PERS
Pasal 9
Pasal 10
Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada
wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian
laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.
Pasal 11
Penambahan modal asing pada perusahaan pers
dilakukan melalui pasar modal.
Pasal 12
Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamt dan
penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk
penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
Pasal 13
Perusahaan iklan dilarang memuat iklan :
Pasal 14
Untuk mengembangkan pemberitaan ke dalam dan ke luar
negeri, setiap warga negara Indonesia dan negara dapat mendirikan kantor
berita.
BAB V
DEWAN PERS
Pasal 15
BAB VI
PERS ASING
Pasal 16
Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan
perusahaan pers asing di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 17
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 18
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku :
Dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 21
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MULADI
Salinan sesuai dengan aslinya.
SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II PR
Edy Sudibyo
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar